Berkenaan dengan proses belajar yang terjadi
pada diri siswa, gagne (1985) mengemukakan delapan jenis belajar. Kedelapan
jenis belajar tersebut adalah :
1.
Belajar
Isyarat (Signal Learning)
Signal learning dapat diartikan
sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat tidak disengaja dan
tidak disadari tujuannya. Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di
dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah
diberikannya stimulus (signal) secara serempak, stimulus-stimulus
tertentu secara berulang kali. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional,
selainnya timbulnya dengan tak sengaja dan tidak dapat dikuasai.
Contohnya seseorang yang menghentikan kendaraan bermotornya
ketika lampu isyarat berwarna merah menyala, Menutup mulut dengan telunjuk, isyarat
mengambil sikap tidak bicara. Lambaian tangan, isyarat untuk datang mendekat.
Menutup mulut dan lambaian tangan adalah isyarat, sedangkan diam dan datang
adalah respons. Tipe belajar semacam ini dilakukan dengan merespons suatu
isyarat. Menurut Krimble (1961) bentuk belajar semacam ini biasanya bersifat
tidak disadari, dalam arti respons diberikan secara tidak sadar.
Kondisi
yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor penguatan (reinforcement).
Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak
S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat penguatannya. Kemampuan tidak diperoleh
dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respon dapat diatur dan
dikuasai. Respon bersifat spesifik, tidak umum, dan kabur. Respon diperkuat
dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan
komponen penting dalam respon itu.
Contohnya Mencium bau masakan sedap,
keluar air liur, itupun ikatan S-R. Jadi belajar stimulus respons sama dengan
teori asosiasi (S-R bond). Setiap respons dapat diperkuat dengan reinforcement.
Hal ini berlaku pula pada tipe belajar stimulus respons.
3.
Rantai
atau Rangkaian hal (Chaining Learning)
Tipe
belajar ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan
keterampilan motorik. Chaining ini terjadi bila terbentuk
hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang
satu lagi, jadi berdasarkan ”contiguity”. Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya tipe balajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah
harus terkuasai sejumlah satuan satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun
verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap
penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Kebanyakan
aktivitas dalam matematika memerlukan manipulasi dari peralatan fisik seperti
mistar, jangka, dan model geometri membutuhkan chaining. Belajar membuat garis
bagi suatu sudut dengan menggunakan jangka membutuhkan penerapan keterampilan
tipe stimulus respn yang telah dipelajari sebelumnya.
Contohnya
kemampuan menggunakan jangka untuk menarik busur dan membuat garis lurus antara
dua titik.
Ada
dua karakteristik dari belajar stimulus respon dan belajar rangkaian dalam
pengajaran Matematika yaitu siswa tidak dapat menyempurnakan rangkaian stimulus
respon apabila tidak menguasai salah satu keterampilan dari rangkaian tersebut,
dan belajar stimulus respon dan rangkaian diafasilitasi dengan cara memberikan
penguatan bagi tingkah laku yang diinginkan. Meskipun memberi hukuman dapat
digunakan untuk meningkatkan belajar stimulus respon, tetapi hal tersebut dapat
berakibat negatif terhadap emosi, sikap, dan motivasi belajar.
4.
Belajar
Asosiasi Verbal (Verbal Association)
Asosiasi
verbal adalah rangkaian dari stimulus verbal yang merupakan hubungan dari dua
atau lebih tindakan stimulus respon verbal yang telah dipelajari sebelumnya.
Tipe paling sederhana dari belajar rangkaian verbal adalah asosiasi antara
suatu objek dengan namanya yang melibatkan belajar rangkaian stimulus respon
dari tampilan objek dengan karakteristiknya dan stimulus respon dari pengamatan
terhadap suatu objek dan memberikan tanggapan dengan menyebutkan namanya.
Asosiasi
verbal melibatkan proses mental yang sangat kompleks. Asosiasi verbal yang
memerlukan penggunaan rangkaian mental intervening yang berupa kode dalam
bentuk verbal, auditory atau gambar visual. Kode ini biasanya terdapat dalam
pikiran siswa dan bervariasi pada tiap siswa dan mengacu kepada penyimpanan
kode-kode mental yang unik.
Contoh seseorang mungkin menggunakan kode mental verbal ”y
ditentukan oleh x” sebagai petunjuk kata fungsi, orang lain mungkin memberi
kode fungsi dengan menggunakan simbol ”y=f(x)” dan orang yang lain lagi mungkin
menggunakan visualisasi diagram panah dari dua himpunan.
5.
Belajar
Diskriminasi/membedakan (Discrimination Learning)
Discrimination
learning atau belajar
menmbedakan sejumlah rangkaian, mengenal objek secara konseptual dan secara
fisik. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua
peransang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon
yang dianggap sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini
adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association
serta pengalaman (pola S-R).
Contohnya: anak dapat membedakan manusia
yang satu dengan yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru
mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan
diskriminasi di antara anak-anak.
Terdapat
dua macam diskriminasi yaitu diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda.
Contoh mengenalkan angka 2 pada anak dengan memperlihatkan 50 angka 2 pada
kertas dan menggambar angka 2. Melalui stimulus respon sederhana anak belajar
mengenal (nama ”dua” untuk konsep dua). Sedangkan untuk diskriminasi ganda anak
belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan membedakan angka-angka
tersebut.
6.
Belajar
konsep (Concept Learning)
Belajar
konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan
mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal
ini belajar konsep adalah lawan dari belajar dari diskriminasi. Belajar
diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam
karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek
karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.
Dalam
belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan.
Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat
rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari
karakteristik yang berbeda .
Sebagai
contoh, tahap pertama belajar
konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu
membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi
kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai
lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin
belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti dan
lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam
variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal
lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks
yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran. Kemampuan membuat
generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang
membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah
mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk
mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep,
sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari
adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu konsep baru kepada siswa:
1) Memberikan variasi hal-hal yang
berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.
2) Memberikan contoh-contoh
perbedaan dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.
3) Memberikan yang bukan contoh dari
konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.
4) Menghindari pemberian konsep yang
mempunyai karakteristik umum.
7.
Belajar
Aturan (Rule Learning)
Belajar
aturan (Rule learning) adalah kemampuan untuk merespon sejumlah situasi
(stimulus) dengan beberapa tindakan (Respon). Kebanyakan belajar
matematika adalah belajar aturan.
Sebagai
contoh, kita ketahui bahwa 5
x 6 = 6 x 5 dan bahwa 2 x 8 = 8 x 2; akan tetapi tanpa mengetahui bahwa
aturannya dapat dinyatakan dengan a x b = b x a. Kebanyakan orang pertama
belajar dan menggunakan aturan bahwa perkalian komutatif adalah tanpa dapat
menyatakan itu, dan biasanya tidak menyadari bahwa mereka tahu dan
menerapkan aturan tersebut. Untuk membahas aturan ini, harus diberikan
verbal(dengan kata-kata) atau rumus seperti “ urutan dalam
perkalian tidak memberikan jawaban yang berbeda” atau “untuk setiap bilangan a
dan b, a x b = b x a.
Aturan
terdiri dari sekumpulan konsep. Aturan mungkin mempunyai tipe berbeda dan
tingkat kesulitan yang berbeda. Beberapa aturan adalah definisi dan mungkin
dianggap sebagai konsep terdeinisi. konsep terdefinisi n! = n (n – 1) (n
-2). . . (2)(1) adalah aturan yang menjelaskan bagaimana mengerjakan n!
Aturan-aturan lain adalah rangkaian antar kosep yang terhubung, seperti
aturan bahwa keberadaan sejumlah operasi aritmetika seharusnya dikerjakan
dengan urutan x, :, +, – . Jika siswa sedang belajar aturan mereka harus
mempelajari sebelumnya rangkaian konsep yang menyusun aturan tersebut.
Kondisi-kondisi belajar aturan mulai dengan merinci perilaku yang
diinginkan pada siswa. seorang siswa telah belajar aturan apabila dapat
menerapkan aturan itu dengan tepat pada beberapa situasi yang berbeda. Robert
Gagne memberikan 5 tahap dalam mengajarkan aturan:
1) Tahap 1: menginformasikan pada
siswa tentang bentuk perilaku yang diharapkan ketika belajar
2) Tahap 2: bertanya ke siswa dengan
cara yang memerlukan pemanggilan kembali konsep yang telah dipelajari
sebelumnya yang menyusun konsep
3) Tahap 3: menggunakan pernyataan
verbal (petunjuk) yang akan mengarahkan siswa menyatakan aturan sebagai
rangkaian konsep dalam urutan yang tepat.
4) Tahap 4: dengan bantuan
pertanyaan, meminta siswa untuk “mendemonstrasikan” satu contoh nyata dari
aturan
5) Tahap 5 (bersifat pilihan, tetapi
berguna untuk pengajaran selanjutnya): dengan pertanyaan yang cocok, meminta
siswa untuk membuat pernyataan verbal dari aturan.
8.
Belajar
Pemecahan Masalah (Problem solving Learning)
Tipe
belajar ini menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena
di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan
aturan-aturan yang disertai proses analisis dan penarikan kesimpulan. Pada
tingkat ini siswa belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon
terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik.
Tipe belajar ini memerlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan
waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar ini kemampuan penalaran siswa dapat
berkembang. Dengan demikian poses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin
dapat berlangsung apabila proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan
dikuasai. Kriteria suatu pemecahan masalah adalah siswa belum pernah sebelumnya
menyelesaikan masalah khusus tersebut,walaupun mungkin telah dipecahkan
sebelumnya oleh banyak orang.
Sebagai
contoh pemecahan
masalah, siswa yang belum pernah sebelumnya belajar rumus kuadrat, menurunkan
rumusnya untuk menentukan penyelesaian umum persamaan ax2 + bx
+ c = 0. Siswa akan memilih keterampilan melengkapkan kuadrat tiga suku dan
menerapkan keterampilan dalam cara yang tepat untuk menurunkan rumus kuadrat,
dengan melaksanakan petunjuk dari guru.
Pemecahan masalah
biasanya melibatkan lima tahap :
1) Menyatakan masalah dalam bentuk
umum,
2) Menyatakan kembali masalah dalam
suatu defenisi operasional,
3) Merumuskan hipotesis alternatif
dan prosedur yang mungkin tepat untuk memecahkan masalah,
4) Menguji hipotesis dan
melaksanakan prosedur untuk memperoleh solusi dan,
5) Menentukan solusi yang tepat.
Urutan jenis-jenis belajar tersebut merupakan tahapan
belajar yang bersifat hierarkis. Jenis belajar yang pertama merupakan prasyarat
bagi berlangsungnya jenis belajar berikutnya. Seorang individu tidak akan mampu
melakukan belajar pemecahan masalah apabila individu tersebut belum menguasai
belajar aturan, konsep, membedakan dan seterusnya.
Untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih
komprehensif mengenai konsep belajar dilihat dari berbagai teori belajar,
seperti diintisarikan oleh Bell-Gredler (1986:317) ada enam teori belajar
kontemporer yang secara singkat dapat kita bahas dalam Modul ini, yakni Teori
Operant Conditioning dari B.F. Skinner; Teori Conditions of learning dari
Robert Gagne; Teori Information Processing; Teori Cognitive Development dari
Jean Piaget; Teori Social Learning dari Albert Bandura; dan Teori Attribution
dari Bernard Weiner.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar