BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut I Wayan Seriyoga Parta, Seni kriya adalah cabang seni yang
menekankan pada keterampilan tangan yang tinggi dalam proses pengerjaannya. Kata Kriya sendiri
berasal dari bahasa sansakerta yakni "Kr" yang artinya "mengerjakan"
yang mana dari kata tersebut kemudian menjadi kata karya, Kriya, kerja. Dalam
arti khusus pengertian seni Kriya adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan
benda atau objek (Prof. Dr. Timbul Haryono: 2012).
Hal ini membuktikan bahwa seni yang bernilai seni
tinggi dan eksotik. Sejak dari zaman kerajaan, pembuatan seni kriya mulai
diperhitungkan. Bahkan seni kriya pada zamannya adalah suatu benda yang
diperuntukkan oleh raja-raja dan kaum bangsawab serta kalangan elit di
Indonesia. Indonesia sendiri terdiri dari berbagai pulau, provinsi, dan daerah
yang memiliki seni, budaya dan suku yang berbeda-beda. Tak ketinggalan dengan
seni kriyanya. Hal inilah yang membuat banyak wisatawan yang berkunjung ke
Indonesia mengatakan bahwa Indonesia adalah negara berjuta seni.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakan di atas maka di dapat rumusan masalah, yaitu : apa
saja bentuk-bentuk seni kriya di 33 provinsi di Indonesia.
C. Tujuan Penulis
Mengetahui apa saja
contoh-contoh seni kriya yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Provinsi Nangro Aceh
Darusalam (Rencong)
Salah satu seni kriya yang terdapat di Provinsi ini adalah Rencong. Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.
Rencong memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat bervariasi dari
10 cm sampai 50
cm. Matau pisau tersebut dapat berlengkung seperti keris, namun dalam banyak
rencong, dapat juga lurus seperti pedang. Rencong dimasukkan ke dalam sarung belati yang terbuat dari kayu, gading, tanduk, atau kadang kadang logam perak atau emas. Dalam pembawaan, rencong
diselipkan di antara sabuk di depan perutpemakai. Bentuk rencong berbentuk
kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada sikunya
merupakan aksara Arab Ba, bujuran gagangnya merupaka aksara Sin, bentuk lancip
yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan aksara
Mim, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Lam,
ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang
sedikit keatas merupakan aksara Ha. Rangkain dari aksara Ba, Sin, Lam, dan Ha
itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah. Jadi pandai besi yang pertama kali
membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki ilmu kaligrafi yang
tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang
tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong hanya digunakan untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang dijalan Allah. Rencong
memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat
dari gading dan mata
pisaunya dari emas dan
berukirkan sekutip ayat suci dari Al-qur’an agama Islam. Sedangkan
rencong-rencong lainnya biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu
sebagai sarungnya, dan kuningan atau besi putih sebagai belatinya.
Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang
berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki haya milik Allah
semata. Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau
dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau
membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain karena perutnya
akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut. Gagang meucungkek itu juga
dimaksudkan agar, pada saat-saat genting dengan mudah dapat ditarik dari
sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan
rencong dengan senjata tradisional lainnya adalah rencong tidak pernah diasah
karena hanya ujungnya yang runcing saja yang digunakan.
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata
andalan masyarakat Aceh yaitu :
·
Rencong Meucugek
Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong
tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh
disebut cugek atau meucugek.
·
Rencong Meupucok
Rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang
terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari gading atau emas. Bagian
pangkal gagang dihiasi emas bermotif tumpal (pucok rebung) serta diberi permata
ditampuk gagang, panjang keseluruhan rencong sekitar 30 cm. Sarung rencong juga
dibuat dari gading serta diberi ikatan dengan emas. Bilah terbuat dari besi
putih.
·
Rencong Pudoi
Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu
yang dianggap masih kekurangan atau masih ada yang belum sempurna. Gagang
rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudo atau
yang belum sempuna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut.
·
Rencong Meukure
Perbedaan rencong dengan rencong jenis lain adalah
pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular,
lipan bunga dan lainnya.
Seperti kepercayaan keris dalam masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh
menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata rencong. Rencong masih digunakan
dan dipakai sebagai atribut busana dalam upacara tradisional Aceh. Masyarakat
Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong mewakili simbol dari basmalah dari
kepercayaan agama Islam. Rencong
begitu populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan
"Tanah Rencong".
2. Provinsi Sumatera Utara (Piso Gaja Dompak)
Piso gaja dompak adalah senjata tradisional yang berasal
dari Sumatera Utara. Namapiso gaja dompak diambil dari kata piso yang berarti pisau yang
berfungsi untuk memotong atau menusuk, bentuk runcing dan tajam dan gaja dompak yang berarti sebutan bagi
ukiran bepernampang gajah pada tangkai senjata tersebut. Senjata
merupakan senajta khas suku Batak. Suku Batak sendiri adalah suku asli yang
tinggal di wilayah Sumatera Utara. Nenek moyang suku batak sendiri diduga
berasal dar Austronesia namun tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya orang
Austronesia pertama kali menduduki Tapanuli. Suku batak sendiri terdiri dari
beberapa sub etnis seperti batak karo, batak mandailing, batak simalungun,
batak pakpak, batak angkola dan batak toba. Keragaman budaya batak tentu saja
tidak dapat dipisahkan dari hegemoni kerajaan batak yang berkuasa di tanah
sumatera utara selama berabad-abad.
Piso gaja dompak, senjata khas suku batak yang juga
merupakan pusaka kerajaan batak. Keberadaan senjata ini tidak dapat dipisahkan
dari perannya dalam perkembangan kerajaan Batak juga kepemimpinan raja-raja
dari kerajaan Batak. Senjata ini hanya digunakan di kalangan raja-raja saja.
Senjata ini bisa merupakan senjata yang istimewa. Mengingat senjata ini juga
merupakan sebuah pusaka kerajaan, senjata ini tidak diciptakan untuk membunuh
atau melukai orang lain. Sebagai benda pusaka senjata ini dianggap memiliki
kekuatan supranatural, yang akan memberikan kekuatan spiritual kepada
pemiliknya. Senjata ini juga merupakan benda yang dikultuskan dan kepemilikan
senjata ini adalah sebatas keturunan raja-raja atau dengan kata lain senjata
ini tidak dimiliki oleh orang di luar kerajaan.
Belum ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan tepatnya
Piso Gaja Dompak menjadi pusaka bagi kerajaan Batak. Namun, dari hasil
penelusuran penulis piso raja dompak ini erat kaitannya dengan kepemimpinan
Raja Sisingamaraja I. Hal ini berdasarkan kepada kepercayaan masyarakat
terhadap mitos yang berasal dari tradisi lisan yang kemudian dicatat dalam
aksara berkisah tentang seorang bernama Bona Ni Onan, yang
merupakan putra bungsu dari Raja Sinambela. Dikisahkan suatu ketika sewaktu
pulang dari perjalanan jauh, Bona Ni Onan mendapati istrinya Boru Borbor sedang
hamil tua. Dia pun meragukan kandungan istrinya itu. Sampai pada suatu malam ia
bermimpi didatangi Roh. Roh itu mengatakan bahwa anak dalam kandungan istrinya
adalah titisan Roh Batara
Gurudan kelak anak tersebut akan menjadi raja yang bergelar
Sisingamaraja. Bona Ni Onan kemudian memastikan kebenaran mimpi tersebut kepada
istrinya. Istrinya pun bercerita bahwa ketika ia mandi di tombak sulu-sulu (hutan rimba), ia mendengar
suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Setelah itu mengetahui bahwa
dirinya hamil. Ia pun percaya bahwa kala itu ia bertemu dengan roh Batara Guru.
Masa kehamilannya mencapai 19 bulan dan kelahiran anaknya pun disertai badai
topan dan gempa bumi dahsyat. Oleh sebab itulah putranya ia beri namManghuntal yang berarti gemuruh gempa.
Beranjak dewasa Manghuntal mulai menunjukan sifat-sifat ajaib yang memperkuat
ramalan bahwa dirinya adalah calon raja. Di masa remaja Manghuntal pergi
menemui Raja Mahasakti yang bernama raja Uti untuk memperoleh pengakuan. Pada
saat ia hendak menemui Raja Uti, raja tidak di tempat dia memutuskan menunggu
sambil memakan makanan yang suguhkan oleh istri raja, ketika itu juga secara
tidak sengaja mendapati Raja Uti bersembunyi di atap dengan rupa seperti
moncong babi. Raja Uti pun menyapa manghuntal, ia pun menyampaikan maksud
kedatangannya menemui raja dan meminta seekor gajah putih. Raja Uti pun
bersedia memberi dengan syarat Manghuntal harus membawa pertanda-pertanda dari
sekitar wilayah Toba, Manghuntal pun menurut. Setelah itu manghuntal kembali
menemui Raja Uti dengan membawa persyaratan dari Raja Uti. Raja Uti kemudian
memberikan seekor gajah putih serta dua pusaka kerajaan yaituPiso Gajah
Dompak dan sebuah tombak
yang ia namai Hujur Siringis.
Konon, menurut kepercayaan yang beredara Piso Gaja Dompak tidak dapat
dilepaskan dari pembungkusnya kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan
Manghuntal bisa membukanya. Pasca itu Manghuntal benar-benar menjadi raja
denganSisingamaraja I. sampai
saat ini masyarakat Batak masih mempercayai mitos ini.
Selain sebagai pusaka yang begitu dihormati dan
dikultuskan, piso gaja dompak ini memuat symbol-simbol yang bermakna filosofis.
Bentuk runcing dari senjata ini, dalam bahasa Batak disebut dengan Rantos yang bermakna ketajaman
berpikir serta kecerdasan intelektual sebagai ketajaman melihat permasalahan
dan peluang juga dalam menarik kesimpulan dan bertindak. Pesan yang terkandung
adalah pemimpin Batak harus memiliki ketajaman berpikir dan kecerdasan dalam
melihat sebuah persoalan dan juga melakukan musyawarah dalam mengambil
keputusan dan memutuskan suatu tindakan sebagai wujud dari kecerdasan dan
ketajaman berpikir dan meihat persoalan. Gaja Dompak sendiri adalah sebutan
untuk bentuk ukiran yang berpenampang gajah. Ukiran ini diduga diambil dari
mitos memberikan piso gaja dompak dan seekor gajah putih pada Manghuntal atau
Sisingamaraja I. Piso Gaja Dompak adalah lambing kebesaran pemimpin batak,
pemimpin batak memiliki kecerdasan intelektual untuk berbuat adil kepada rakyat
dan bertanggung jawab pada Tuhan.
3.
Provinsi Sumatera Barat (Pandai
Sikek)
Pandai Sikek adalah
sebuah daerah yang berada di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Di daerah ini ada sebuah kerajinan tenun yang disebut “Tenun Songket
Pandai Sikek”. Produk kerajinan tenun songket Pandai Sikek tidak hanya terbatas
pada berbagai macam pakaian seperti baju kurung dan destar, tetapi
juga berbagai kelengkapan upacara adat dan perkawinan, seperti: kodek songket, saruang balapak, saruang batabua,
selendang songket atau selendang batabua tingkuluaktanduak (tutup
kepala wanita), dan sesamping(perlengkapan penghulu). Songket bagi
masyarakat Minangkabau merupakan jenis pakaian yang tinggi nilainya (sangat
dihargai). Oleh karena itu, pemakaiannya terbatas pada peristiwa-peristiwa atau
kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: perkawinan, batagak gala (penobatan
penghulu), dan penyambutan tamu-tamu penting.
Berdasarkan tujuannya, pembuatan tenun
songket dapat dibedakan menjadi dua, yaitu untuk keperluan sendiri dan untuk
diperdagangkan. Jika pembuatannya hanya untuk keperluan sendiri dan atau
sanak-saudara (kerabat), maka biasanya dilakukan setelah pulang dari sawah atau
setelah pekerjaan rumah tangga selesai. Akan tetapi, jika untuk diperdagangkan,
maka pembuatannya dilakukan dari pagi hingga sore hari oleh tenaga kerja yang
umumnya adalah kaum perempuan. Diantara para pekerja itu ada yang
sebelumnya magang (belajar) kemudian, setelah menguasai,
menjadi tenaga kerja di tempat yang bersangkutan. Tetapi pada umumnya adalah
orang-orang yang telah menguasai teknik pembuatan songket. Penguasaan atau
kepandaian itu umumnya diperoleh dari orang tuanya. Sebagai catatan, pekerja
dan pengusaha tenun songket Pandai Sikek adalah kaum perempuan
karena kaum lelaki menganggap bahwa kegiatan itu lebih cocok dilakukan oleh
kaum perempuan. Jadi, jika ada lelaki yang terlibat, maka hanya sekedar
membantu saja. Hal-hal yang bersifat pokok tetap dilakukan oleh
kaum perempuan.
1. Peralatan dan Bahan
Peralatan
tenun songket Pandai Sikek dapat dikategorikan menjadi dua,
yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu.
Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka
disebut sebagai “panta”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5
meter ini terdiri atas gulungan (suatu alat yang digunakan
untuk menggulung benang dasar tenunan), sisia(suatu alat yang
digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan), pancukia (suatu
alat yang digunakan untuk membuat motif songket, dan turak (suatu
alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar). Panta yang
ditempatkan pada suatu tempat yang disebutpamedangan (tempat khusus
untuk menenun songket) itu, di depannya diberi dua buah tiang yang berfungsi
sebagai penyangga kayu paso. Gunanya adalah untuk menggulung kain
yang sudah ditenun. Sedangkan, yang dimaksud dengan peralatan tambahan adalah
alat bantu yang digunakan sebelum dan sesudah proses pembuatan songket. Alat
tersebut adalah penggulung benang yang disebut anidan alat
penggulung kain hasil tenunan. Bahan dasar kain tenun songket adalah benang
tenun yang disebut benang lusi atau lungsin.
Benang tersebut satuan ukurannya disebut palu. Sedangkan,
hiasannya (songketnya) menggunakan benangmakao atau benang India.
Benang
yang satuan ukurannya disebut pak ini didatangkan
dari Singapura melalui Tanjungpinang. Sebagai catatan, di masa lalu jika
pengrajin menginginkan suatu warna tertentu, maka benang yang akan diwarnai itu
dicelupkan ke air panas (mendidih) yang telah diberi warna tertentu, kemudian
dijemur. Di masa kini hanya sebagian yang masih melakukannya. Sebagian lainnya
langsung membeli benang-warna yang telah diproduksi oleh suatu pabrik.
2. Teknik Tenun
Pembuatan
tenun songket dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penenunan kain
dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Caranya benang-benang yang akan dijadikan kain dasar (ditenun)
dihubungkan ke paso. Posisi benang yang membujur ini
oleh masyarakat Pandai Sikek disebut “benang tagak”. Setelah itu,
benang-benang tersebut direnggangkan dengan alat yang disebutpalapah.
Pada
waktu memasukkan benang-benang yang arahnya melintang, benang tagak direnggangkan
dengan alat yang disebut palapah. Pemasukkan benang-benang yang
arahnya melintang ini menjadi relatif mudah karena masih dibantu dengan pancukia dengan hitungan
tertentu menurut motif yang akan dibuat. Setelah itu, pengrajin
menggerakkan karok dengan menginjak salah satu tijak-pantauntuk
memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga ketika benang pakan yang
digulung pada kasaliyang terdapat dalam skoci atau turak dapat
dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh
bidang karok) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian).
Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengan karok yang
bersuri akan membentuk kain dasar.
Tahap
kedua adalah pembuatan ragam hias dengan benang mas. Caranya agak
rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar mesti melalui perhitungan
yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian yang menggunakan benang lusi ditentukan
dengan alat yang disebut pancukie yang terbuat dari bambu.
Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang lusi/lungsin itu
harus dihitung satu persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut
hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Setelah jalur
benang mas itu dibuat dengan pancukie, maka ruang
untuk meletakkan turak itu diperbesar dengan alat yang
disebut palapah. Selanjutnya, benang mas tersebut
dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.
Sebenarnya
lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung jenis
pakaian yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif
songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama
pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu
kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap
harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang
5--10 sentimeter. Sebagai catatan, kain songket tidak boleh dilipat harus
digulung dengan kayu bulat yang berdiammeter 5 cm. Hal ini perlu dilakukan
untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang mas-nya
tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi.
3. Motif Ragam Hias Tenun Songket Pandai Sikek
Pada
dasarnya motif-motif yang terdapat dalam tenun songket Pandai Sikek
adalah cukie dansungayang. Cukie adalah
sebuah pola yang mengisi bagian-bagian dari kain. Misalnya, cukie untukbadan
kain, cukie untuk kepala kain, cukie untuk tapi atau
pola pinggir kain, dan cukie untuk biteh yang
membatasi antarbeberapa motif (cukie). Nama-nama cukie tersebut
pada umumnya dicontoh dari kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan
hanya digunakan pada saat ada upacara adat, diantaranya adalah: cukie
barantai, cukie bakaluak, cukie bungo tanjung, cukie kaluak paku, cukie barayam
pucuak rabuang, cukie barayam tali-tali burung, cukie kaluak, lintadu bapatah,
cukie bugis barantai, cukie bungo batang padi, ula gerang, cukie basisiak
batali burung, cukie kaluak bungo sikakau, cukie bareh randang, arai pinang
baakar cino, pucuak rabuang bajari, cukie pucuak rabuang bungo sikakakau, cukie
bugis batali, cukie bungo sitaba, cukie batang padi, lintadu bararak, cukie
kaluak babungo, cukie tapak manggis batali, cukie barayam talang-talang, cukie
ulek sipadiah, tupuak manggis barantai, itik pulang patang, bijo antimun dan
bungo tanjuang, tali burung, talue burung, cukie kaluak ampek puluah, cukie
barakar, ayam tadie ilalang, cukie baayam baakar, cukie basisiak batang pinang,
bareh randang danbiku-biku.
Sedangkan sungayang adalah
corak keseluruhan kain tenun atau songket. Nama-nama motifsungayang diantaranya
adalah: Saik Kalamai, Buah Palo, Balah Kacang, Barantai Putiah,
Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie
Baserak, Sirangkak, Simasam, dan Silala Rabah. Untuk lebih
jelasnya contoh-contohnya di bawah ini.
Tenun Songket Pandai Sikek jika dicermati, di dalamnya mengandung
nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain:
kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin dari pada pemakaiannya yang pada umumnya hanya
digunakan pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya
dengan upacara, seperti perkawinan dan batagak gala (penobatan
penghulu). Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat
sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan,
ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran karena tanpa itu tidak mungkin untuk
menghasilkan sebuah tenun songket yang bagus.
4.
Provinsi Riau (Candi Muara Takus)
Keadaan
geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar
sangat mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran
sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara
ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya
suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur
transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang
sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar
maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat
peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak
mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat
pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan
tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula
bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan
upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis
terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan
perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan
suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya
terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut.
Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama
Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan
bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India
awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran
tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri
khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam
sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1.
Stupa yang merupakan
bagian dari sesuatu bangunan.
2.
Stupa yang berdiri
sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
3.
Stupa yang menjadi
pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di
atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki
fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi
masing-masing sebagai bangunan lengkap. Arsitektur bangunan stupa Candi
Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di
Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa
di Vietnam, Sri Lanka atau
stupa kuno di India pada
periode Ashoka, yaitu stupa yang
memiliki ornamen sebuah roda dan kepala
singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks
Candi Muara Takus.
Patung singa sendiri
secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang
dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek
‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya
dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang
Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh
sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di
seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa
Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik,
antara lain :
1.
Udyatā:
singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi
membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2.
Jāgrata:
singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap
duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
3.
Udyatā:
singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya
ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
4.
Gajakrānta:
singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu
kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini
disebutsimha kunjara.
Di kompleks Candi Muara
Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung
dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di
tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat
sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal
dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh
jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian
R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus
dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa
candi.
Konon ada anggapan teknologi pembuatan
candi dengan bahan bata selangkah lebih maju dibanding candi dari batuan
andesit. Perekat bata berasal dari telur ayam sebagai ganti semen. Hal ini
berbeda dengan candi-candi batu andesit yang menggunakan teknik tatah. Bangunan
candi ini terbuat dari campuran batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut
sebuah sumber, batu bata untuk bangunan candi ini dibuat di desa Pongkai,
sebuah desa yang terletak di sebelah hilir komplek candi. Bekas galian tanah
untuk membuat batu bata sampai saat ini menjadi tempat yang dikeramatkan warga.
Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan
ke tangan.
5.
Provinsi Kepulauan Riau (Badik Tumbuk Lado)
Badik
Tumbuk Lado merupakan
senjata tradisional yang berasal dari Kepulauan Riau. Badik sendiri
merupakan sebutan untuk senjata tradisional yang dikenal di kalangan masyarakat
bugis dan beberapa daerah di Sumatera. Sedangkan, Tumbuk
Lada atau Tumbuk Lado (Riau) adalah senjata tradisional masyarakat
Melayu dan masyarakat Semenanjung Melayu. Tak heran jika badik tumbuk lado
memiliki kemiripan dengan senjata dari daerah di semenanjung melayu lainnya
bahkan dengan Negara tetangga malaysia. Kepulauan Riau ditinggali oleh berbagai
ras dan etnic. Akan tetapi, mayoritas penduduknya yang juga penduduk asli
adalah bangsa melayu. Oleh karena itu, kebudayaan dari daerah Riau ini banyak
memiliki kesamaan dengan wilayah yang berpenduduk asli melayu lainnya. Badik
Tumbuk Lado adalah
sejenis senjata tikam berukuran 27 sampai 29 cmdan lebar nya sekitar 3.5 sampai 4 cm. senjata ini tidak hanya
dipakai oleh masyarakat Jambi, dan juga memiliki kesamaan dengan badik Bugis
hanya berbeda dalam bentuk dan motif sarung badiknya saja. Tidak hanya di dalam
negeri, Malaysya juga memiliki senjata tardisional yang sama, baik secara nama
dan bentuk. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang masyarakat melayu yang
tersebar di indonesi, malaysia, Filipina, vietanam dan sepanjang semenanjung
Melayu. Sama halnya dengan keris, badik juga merupakan salah satu identitas
yang mencirikan bangsa Melayu.
Tidak diketahui
kapan pastinya awal mula Badik
Tumbuk Lado digunakan
sebagai senjata oleh orang Melayu. Akan tetapi, sejaka dulu orang Melayu
terutama masyarakat Melayu kepulauan Riau menggunakan Badik Tumbuk Lado untuk berburu dan mempertahankan diri
dari serangan musuh. Selain itu, Badik
Tumbuk Lado juga
mempunyai fungsi estetis yakni badik biasanya digunakan sebagai
pelengkap baju adat pria Melayu terutama saat pesta pernikaha. Bukan hanya
berfungsi sebagai pelengkap baju adat saja, badik tumbuk lado juga menyimbolkan
keperkasaan dan kegagahan seorang pria. Sebetulnya, filosofi Badik Tumbuk Lado tidak jauh berbeda dengan keris jika
keris seringkali disebutkan sebagai symbol pemersatu bangsa Melayu. Badik pun
begitu, karena pada hakikatnya senjata dibuat sebagai alat yang memudahkan
manusia juga sebagai lambang keberanian bukan sebagai symbol permusuhan.
Sampai saat ini Badik Tumbuk Lado masih digunakan oleh masyarakat
kepulauan Riau untuk melakukan kerja produksi seperti bercocok tanam atau
berburu. Beberapa adat setempat juga masih mempertahankan badik sebagai
pelengkap busana adat pria. Hanya saja, saat ini badik sudah tidak lagi sebagai
senjata tajam yang berfungsi dalam perkelahian. Kini, masyarakat melayu sudah
memfungsikan Badik untuk fungsi-fungsi lain karena sekarang sudah banyak
senjata api beredar dan juga Badik dianggap sudah tidak praktis lagi untuk
dibawa kemanapun pergi.
6.
Provinsi Bengkulu (Batik Basurek)
Batik besurek adalah salah satu
kerajinan tangan khas Bengkulu. Disebut demikian karena motifnya bertuliskan
kaligrafi Arab. Pada hakekatnya besurek memiliki arti bersurat atau tulisan.
Kerajinan ini diwariskan turun temurun.
Konon, batik
besurek diperkenalkan para pedagang Arab dan pekerja asal India pada abad XVII.
Agar lebih variatif, saat ini para pengrajin tak hanya menuliskan huruf
kaligrafi. Namun juga mengombinasikan beberapa motif, seperti relung kua yang
bergambar burung, relung paku yang meliuk liuk seperti tanaman pakis, dan motif
rembulan serta bunga rafflesia.
Motif-motif dasar batil besurek
antara lain :
·
Motif Kaligrafi : merupakan motif
yang diambil dari huruf kaligrafi. untuk batik besurek modern, biasanya
kaligrafinya tidak memiliki makna
·
Motif Bunga Rafflesia : bergambar
bunga Rafflesia Arnoldi yang merupakan bunga raksasa khas bengkulu. motif bunga
Rafflesia bisa dibilang sebagai motif utama kain besurek setelah kaligrafi
·
Motif Burung : bergambar seperti
burung, tetapi terbuat dari rangkaian huruf kaligrafi
·
Motif Relung Paku : bentuknya
meliuk-liuk, persis seperti tanaman relung paku
·
Motif rembulan : merupakn motif yang
digambar seperti rembulan yang bulat. biasanya dipadukan dengan motif kaligrafi
7. Provinsi
Jambi (Badik Tumbuk Lada)
Senjata adat ini berbentuk menyerupai badik milik masyarakat bugis,
namun memiliki gagang yang lurus, hampir juga menyerupai keris hanya tidak
bergelombang. Selain untuk berburu senjata ini juga dipergunakan untuk
berperang. Proses pembuatannya menyerupai keris atau badik
8. Provinsi Sumatera Selatan (Tombak
Trisula)
Tombak Trisula ini sebenarnya merupakan perpaduan antara
Senjata Bhatara Siwa [Guru] dan Pasangannya [Durga], bentuknya biasa saja,
Polos tidak berukir. Berwarna kecoklat-coklatan. Tidak berpamor, karena sudah
terlalu Tua usianya, Meskipun demikian Tombak Trisula ini memiliki kelebihan,
dipercaya sebagai Pusaka Jagad Raya.
Munculnya Senjata Andalan Kerajaan Singosari ini,
bukanlah dibuat oleh orang sakti seperti misalnya Empu Gandring atau Empu Supa,
akan tetapi diyakini dibuat oleh HYANG AGUNG {DEWA} pada Zaman Ken dedes,Istri
Ken Arok, oleh karena itulah, Tombak Trisula ini dianggap sangat Istimewa,
“Oleh Ahli Pusaka dipercaya sebagai Senjata Bhatara Syiwa. Paling Ampuh
diantara Tombak-tombak yang ada di Indonesia.
Tombak ini bukan digunakan untuk berperang, akan tetapi
“hanya PIYANDEL [Pusaka] Kerajaan dan Jagad Raya”, ujar Hyang Suryo {Yang
ber-Abiseka Sri Wilatikta Brahmaraja XI} pemilik tombak ampuh dari
kerajaan-kerajaan zaman dahulu, karena “KEAMPUHAN” itulah Raja Kertanegara yang
berasal dari Kerajaan Singosari menjadikan Tombak Trisula ini sebagai Piyandel
Kerajaan, Hasilnya memang nyata, Dirinya menjadi Raja yang disegani di kawasan
Asia Tenggara. Namun setelah senjata itu hilang dari Kerajaan, Kertanegara
dapat ditaklukkan oleh Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kediri.
Keberadaan Tombak Trisula ini disakralkan dan tidak
boleh dikirap pada tiap-tiap ada upacara. Akan tetapi hanya ditaruh di
PELINGGIHAN UTAMA sebagai Simbol Bhatara SYIWA pada Upacara keagamaan. Tombak
Trisula ini memang tidak pernah dibawa keluar untuk upacara-upacara, hanya
diberi Sesaji oleh Pemangku Utama dan cara memegang Tombak inipun harus dengan
sangat hati-hati, kemudian Tombak Trisula ini diletakkan di “PELINGGIHAN PADMA
SYIWA” ujar Hyang Suryo [Brahmaraja XI] pada POSMO. Tidak sembarang orang yang bisa memegang Tombak Trisula
tersebut, biasanya yang memegang Tombak Trisula ini akan kesurupan [Bali -
Kerauhan] padahal pada mulanya orang itu sadar pada saat akan memegang, akan
tetapi dalam waktu beberapa menit orang tersebut akan berbicara sendiri,
sepertinya yang terdengar adalah suara makhluk halus. Hal seperti ini tidak
akan berlaku/ terkena bagi Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari dan
Pemangku Utama. Maka dari itu Pemangku biasa tidak akan berani memegang Tombak Trisula
ini. Namun demikian ada pula yang berani (nekad), namun akibatnya keadaannya
“NGGEBLAK” [jatuh terlentang] ditanah. Hal ini pernah dialami oleh Mangku Bima
Wananda, karena tidak kuat. Ternyata hanya Pendeta Tingkat Tinggi saja yang
mampu melakukannya. Yang perlu diingat bahwa Tombak Trisula dicuci hanya dengan
diperciki Air dan digosok dengan Daun Kelapa Muda yang diwujudkan Sapu, bukan
di celupkan kedalam air kembang setaman sebagaimana Tombak milik Rakuti atau
Tokoh lainnya pada bulan Sura {Pusaka Pura Majapahit yang nyuci Empu Sudarmadji
Kakak Gubernur Jatim Basofi Sudirman waktu itu, dan disaksikan Wartawan}
Setelah dicuci kemudian ditaruh di tempat khusus dengan dibungkus kain
9.
Provinsi Lampung (Nuwo Sesat)
Rumah Adat Lampung umumnya terdiri dari bangunan
tempat tinggal disebut Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang
disebut Mesjid, Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan
musyawarah yang disebut sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan
makanan dan benda pusaka yang disebut Lamban Pamanohan
Rumah adat
orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan
utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke
dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan
beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga.
Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak.
Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin
keluarga.
Arsitektur
lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah tradisional berbentuk
panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah ini
berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.. Ada dua
jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para Kepala
Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun.
Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban
(tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga "naik" ke rumah);
Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat
duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul),
Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak
tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua),
kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).
Bangunan lain
adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat
para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah).
Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari
bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap). Atap
itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk
pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan
(tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat
istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah
hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih,
kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat
tradisional Lampung Pepadun.
Arsitek
tradisinoal Lampung lainnya dapat ditemukan di daerah Negeri Olokgading, Teluk
Betung Barat, Bandar Lampung. Negeri Olokgading ini termasuk Lampung Pesisir
Saibatin .Begitu memasuki Olokgading kita akan menjumpai jajaran rumah panggung
khas Lampung Pesisir, dan di sanalah kita akan melihat Lamban Dalom Kebandaran
Marga Olokgading, yang menjadi pusat adat istiadat Marga Balak Olokgading.
Bangunan ini berbahan kayu dan di depan rumah berdiri plang nama bertuliskan
“Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir”. Bentuknya sangat unik
dan khas dengan siger besar berdiri megah di atas bangunan bagian muka . Sampai
sekarang lamban dalom ini ditempati kepala adat Marga Balak secara turun
temurun.
Meskipun berada
di perkotaan, fungsi rumah panggung tidak begitu saja hilang. Lamban Dalom
Kebandaran Marga Balak berfungsi sebagai tempat rapat, musyawarah, begawi, dan
acara-acara adat lain. Di Lamban Dalom ini ada siger yang berusia ratusan
tahun, konon sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus. Siger yang terbuat dari
bahan perak ini adalah milik kepala adat dan diwariskan secara turun
temurun.Siger ini hanyalah salah satu artefak atau peninggalan budaya yang
sudah ratusan tahun usianya disimpan oleh Marga Balak. Selain siger ada juga
keris, pedang, tombak samurai, kain sarat( kain khas Lampung Pesisir seperti
tapis), terbangan( alat musik pukul seperti rebana), dan tala(sejenis alat
musik khas Lampung sejenis kulintang) dan salah satunya dinamakan Talo Balak.
10. Provinsi Kalimantan
Timur (Perisai/Tameng)
Merupakan alat
penangkis dalam peperangan melawan musuh. Perisai terbuat dari kayu yang ringan
tapi tidak mudah pecah. Bagian depan perisai dihiasi dengan uki ran,
namun sekarang ini kebanyakan dihiasi dengan lukisan yang menggunakan warna
hitam putih atau merah putih. Motif yang digunakan untuk menghias perisai
terdiri dari 3 motif dasar:
1.
Motif Burung Enggang ( Kalung Tebengaang )
2.
Motif Naga/Anjing ( Kalung Aso’ )
3.
Motif Topeng ( Kalung Udo’ )
Selain sebagai alat pelindung diri dari serangan
musuh, perisai juga berfungsi sebagai:
·
Alat pe nolong se waktu kebakaran / melindungi
diri dari nyala api
·
Alat untuk melerai perkelahian
·
Perlengkapan untuk upacara Belian
Kini perisai banyak dijual sebagai souvenir / penghias dekorasi rumah
tangga.
11. Provinsi
Kalimantan Barat (Mandau)
Masyarakat
Kalimantan sangat mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut
sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari
pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau
juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai
catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam
acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat,
dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan
atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses
pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi
pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin
banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin
sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya.
Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami
mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau
sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi
serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.
Ø
Bagian Mandau
1.
Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu
mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh
permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh
burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa
bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini
dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial
pemiliknya.
2.
Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya
terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk
gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat
apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung
tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau
juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel
pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
3.
Bilah Mandau
Bilah mandau
terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti
parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk
datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya
dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat
digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi
baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan
lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari
batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta
hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya
dibuat oleh orang-orang tertentu.
Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara
seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya.
Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan
kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat
sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan,
ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin
akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.
12. Provinsi
Kalimantan selatan (Kain Sasirangan)
Kain Sasirangan
ini asal mulanya digunakan atau dipercaya untuk kesembuhan bagi orang yang
tertimpa suatu penyakit (pamintaan). Kain ini dipakai pada upacara adat suku
daerah Banjar. Kain sasirangan ini berbentuk laung (ikat kepala), kekamban
(kerudung) dan tapih bumin (kain sarung). Sebagai bahan pewarna diambil dari
bahan bahan pewarna alam seperti jahe, air pohon pisang, daun pandan dll. Menurut
sejarah sekitar abad XII sampai abad ke XIV pada masa kerajaan Dipa, di
Kalimantan Selatan telah dikenal masyarakat sejenis batik sandang yang disebut
Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.
Menurut cerita
rakyat atau sahibul hikayat, kain sasirangan yang pertama dibuat yaitu tatkala
Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut
banyu. Menjelang akhir tapanya rakit Patih tiba di daerah Rantau kota
Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengan suara seorang
wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua
ini. Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya
dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain
dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri
dengan motif wadi / padiwaringin. Itulah kain calapan / sasirangan yang pertama
kali dibuat.
Kain
Sasirangan adalah kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan
menggunakan bahan perintang seperti tali, benang atau sejenisnya menurut
corak-corak tertentu. Pada dasarnya teknik pewarnaan rintang mengakibatkan
tempat-tempat tertentu akan terhalang atau tidak tertembus oleh penetrasi
larutan zat warna. Prosesnya sering diusahakan dalam bentuk industri rumah
tangga, karena tidak diperlukan peralatan khusus, cukup dengan tangan saja untuk
mendapatkan motif maupun corak tertentu, melalui teknik jahitan tangan dan
ikatan.
Sebagai bahan
baku kainnya, yang banyak digunakan hingga saat ini adalah bahan kain yang
berasal dari serat kapas (katun). Hal tersebut disebabkan karena pada mulai
tumbuhnya pembuatan kain celup ikat adalah sejalan dengan proses celup rintang
yang lain seperti batik dan tekstil adat. Untuk saat ini pengembangan bahan
baku cukup meningkat, dengan penganekaragaman bahan baku non kapas seperti :
polyester, rayon, sutera, dan lain-lain.
Desain/corak
didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh beberapa
faktor, selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain : jenis
benang/jenis bahan pengikat.
Dengan
mengkombinasikan antara motif-motif asli yang satu dengan motif asli yang
lainnya, maka kain kain sasirangan makin menarik dan kelihatan modern Selain
itu motif-motif tersebut dimodifikasi sehingga menciptakan motif-motif yang
sangat indah namun tidak meninggalkan ciri khasnya. Adapun corak atau motif
yang dikenal antara lain Kembang Kacang, Ombak Sinapur Karang, Bintang
Bahambur, Turun Dayang, Daun Jaruju, Kangkung Kaombakan, Kulit Kayu,
Sarigading, Parada dll.
Produk barang
jadi yang dihasilkan dari kain Sasirangan yaitu Kebaya, Hem, Selendang, Jilbab,
Gorden, Taplak Meja, Sapu Tangan, Sprei dll. Penggunaan Kain Sasirangan inipun
lebih meluas yaitu untuk busana pria maupun wanita yang dipakai sehari-hari
baik resmi atau tidak.
13. Provinsi
Kalimantan tengah (Rumah Betang)
Rumah
Betang (sebutan
untuk rumah adat di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah),
merupakan rumah yang dihuni oleh masyarakatDayak.
Rumah Betang (Huma Betang) ini adalah karya suku-suku Dayak
yang berdiam di pedalaman Kalimantan dengan konsep hidup secara
berkelompok-kelompok.
Betang memiliki keunikan tersendiri dapat diamati dari
bentuknya yang memanjang serta terdapat hanya terdapat sebuah tangga dan pintu
masuk ke dalam Betang. Tangga sebagai alat penghubung pada Betang dinamakanhejot.
Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari
hal-hal yang meresahkan para penghuni Betang, seperti menghindari musuh yang
dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda
Betang. Hampir semua Betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar. Rumah
betang mempunyai ciri-ciri yaitu; bentuk Panggung, memanjang. pada suku Dayak
tertentu, pembuatan rumah panjang bagian hulunya haruslah searah dengan
Matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah Matahari terbenam, sebagai simbol
kerja-keras untuk bertahan hidup mulai dari Matahari tumbuh dan pulang ke rumah
di Matahari padamg ada di Kalimantan
Betang dibangun biasanya berukuran besar, panjangnya
dapat mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter,
memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Betang di bangun menggunakan
bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T
et B), selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan
tahun serta anti rayap. Betang biasanya dihuni oleh 100-150 jiwa di dalamnya,
sudah dapat dipastikan suasana yang ada di dalamnya. Betang dapat dikatakan
sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang
menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu.
Di dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang dihuni oleh setiap
keluarga.
Pada halaman depan Betang biasanya terdapat balai
sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan adat. Pada halaman
depan Betang selain terdapat balai juga dapat dijumpai sapundu.
Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia
yang memiliki ukiran-ukiran yang khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat
untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikorbankan untuk prosesi upacara
adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman Betang yang berfungsi
sebagai rumah pemujaan.
Pada bagian belakang dari Betang dapat ditemukan
sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang
digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau
halu. Pada Betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat
penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong. Pada bagian
depan atau bagian belakang Betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung
adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal
serta telah melewati proses upacara tiwah.
Salah satu kebiasaan suku Dayak adalah memelihara
hewan, seperti anjing, burung, kucing, babi, atau sapi. Selain karena ingin
merawat anjing, suku Dayak juga sangat membutuhkan peran anjing sebagai ‘teman’
yang setia pada saat berburu di hutan belanntara. Pada zaman yang telah lalu
suku Dayak tidak pernah mau memakan daging anjing, karena suku Dayak sudah
menganggap anjing sebagai pendamping setia yang selalu menemani khususnya
ketika berada di hutan. Karena sudah menganggap anjing sebagai bagian dari suku
Dayak, anjing juga diberi nama layaknya manusia.
14. Provinsi
Kepelauan bangka belitung (Kain Cual)
Kain cual telah
berkembang sejak abad ke 16. Kini, setelah Babel berdiri menjadi provinsi
sendiri, kain cual pun menjadi kain adat kebanggaan. Dulu kain ini sempat
menghilang namun berkat kerja keras pasangan almarhum Abdul Hadi dan sang istri
Isnawati Hadi, kain ini terangkat kembali. Mereka memamerkan kain cual yang
mereka miliki adalah peninggalan leluhur yang telah berusia 200 tahun. kerja
keras ini mengantarkan mereka pada kesuksesan sebagai enterpreneur pengembang
tradisi dan khasanah kebudayaan lokal khas Bangka Belitung.
Secara
umum, motif pada tenun ikat Cual Muntok dibagi menjadi dua kategori, yaitu
motif susunan bercorak penuh, yang dalam bahasa Bangka disebut dengan motif Penganten Bekecak, dan motif ruang
kosong, yang dalam bahasa Bangka disebut dengan motif Jande Bekecak.
Seperti jenis kain batik atau songket daerah lain yang
menjadi kekayaan tradisi negeri ini, kain tenun Cual juga memiliki makna
filosofi dalam setiap guratan motifnya. Tingkat kehalusan tenunan, kerumitan
motif, dan padu padan warna yang menarik mengandung semacam simbol yang menggambarkan
perjalanan religius penenunnya. lebih lanjut bentuk Kain cual seperti songket.
Yang membedakannya adalah kain cual memiliki warna-warna cerah, khas kain
tradisional Melayu. Selain itu juga lebih lembut dan luwes, serta disertai
motif flora atau fauna.
Melihat keindahan dan sejarahnya, kain tenun cual Bangka
ini, sangat pantas untuk dilestarikan dan menjadi salah satu souvenir sepulang
dari Bangka. Orang-orang tua di Bangka bahkan menyebutnya sebagai Pusake Lame yang harus dilestarikan.
15. Provinsi
Banten (Batik Banten)
Batik
Banten adalah Batik yang berasal dari Provinsi Banten dan RI.
Kearifan lokal yang tersisa dari pusat kerajaan pemerintah Islam Kesultanan Banten, telah mewarisi berbagai benda-benda kuno yang mempunyai
ragam khas dan unik. Lewat warisan itu, masyarakat dapat mengukir karya-karya
unggulan sebagai bekal cipta anak cucu di tanah Banten.
Berbagai
kajian pemanfaatan ragam hias khas Banten telah ditransformasikan dan didesain ke dalam media kain
katun dan sutra yang disebut batik Banten. Batik ini kaya akan muatan filosofi yang mengandung arti dalam
setiap motif yang diambil dari toponim. Inilah tatanan aset yang menjadi ciri
khas batik Banten tersebut. Batik banten itu sudah masuk di kancah internasional, bukan karena bentuk dan tatanananya saja, melainkan juga
ciri khas yang dimiliki.
Batik Baten memiliki identitas tell story (motifnya bercerita) memilki
khas tersendiri ketimbang batik lain. Beberapa motifnya diadopsi dari benda-benda sejarah
(artefak). Di setiap motif terdapat warna abu-abu yang konon menjadi cermin Banten. Semua batiknya mengandung muatan filosofi.
Batik Banten memilki ciri yang khas dan unik karena di samping setiap
motifnya bercerita sejarah, juga berasal dari benda-benda peninggalan seperti gerabah
dan nama-nama penembahan kerajaan Banten seperti Aryamandalika, Sakingking, dan lain-lain.
16. Provinsi
Jawa timur (Topeng reog)
Ada
lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog
dan Warok ], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita
tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan
yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan
perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu
kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini
akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa
pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki
Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan
"sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu
membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam
pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai
"Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan
diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang
menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala
gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan
Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok,
yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu,
sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg
hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya
menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan
oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk
melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara
diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk
dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat,
namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter
dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi
resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang
berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia
dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri
dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini
memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara
Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam
keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga
kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur
mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog
merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang
ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat
yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan
yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih
berlaku.
17. Provinsi
Jawa barat (Nilai Kujang)
Nilai
Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam sejarah
Kerajaan Padjadjaran Makukuhan dan Panjalu. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu
Kudo Lalean(disebut juga Prabu Kuda Lelean di tanah Sunda dan Kerajaan Panjalu
Ciamis). Prabu Kuda Lelean / Kudo lalean juga dikenal sebagai Hyang Bunisora
dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni
di Jampang (Sukabumi).
Sejak
itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan
Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kudo
Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu
mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini
dipergunakan sebagai alat pertanian.
Bentuk
Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda
bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami
reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya dari wilayah
Pasundan, yakni Prabu Kian Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora
,dan Bunisora Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan
meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu
dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran
Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat dimana
stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai
utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah,
maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.
Manifestasi
nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata pisau yang
menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru
seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan
ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima
lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model
Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu
Kian Santang. Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan
lain” dan bisa memberi kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.
Dalam
perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum bangsawan.
Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja dan
bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang sebagai
mendekorasi rumah.
Konon
ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan,
kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada satu hal yang tak boleh
dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata
pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabuatau
larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri
diantara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan
kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa
kurang.
18. Provinsi
Jawa tengah (Candi gedong songo)
Gedongsongo
berada tepat di kaki Gunung Ungaran. Kompleks candi Hindu ini berjarak sekitar
lima kilometer dari Bandungan. Hawa dingin menyelimuti kawasan candi yang
berada pada ketinggian 1.200-1.300 meter di atas permukaan air laut. Candi
terdiri atas sembilan kelompok candi terletak di Desa Candi, Kecamatan
Ambarawa, Ungaran, Kabupaten Semarang. dan kompleks candi ini dibangun pada
abad ke-9 Masehi. Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa, “Gedong” berarti rumah
atau bangunan, “Songo” berarti sembilan. Jadi Arti kata Gedongsongo adalah
sembilan (kelompok) bangunan.
Lokasi 9 candi
yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang
indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata
air yang mengandung belerang. Kabut tipis turun dari atas gunung sering muncul
mengakibatkan mata tidak dapat memandang Candi Gedongsongo dari kejauhan. Candi
ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini
terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu
udara disini cukup dingin. Untuk menuju ke Candi Gedong I, kita harus berjalan
sejauh 200 meter melalui jalan setapak yang naik. Anda bisa memanfaatkan jasa
transportasi kuda untuk berwisata mengelilingi obyek wisata Candi Gedongsongo.
Tahun 1740, Loten menemukan kompleks Candi Gedong Songo. Tahun 1804, Raffles
mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena hanya ditemukan
tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1925,
Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedong Songo pada tahun 1865.
Tahun 1908 Van Stein Callenfels melakukan penelitian terhadapt kompleks candi
dan Knebel melakukan inventarisasi pada tahun 1910-1911.
Disela-sela antara
Candi Gedong III dengan Gedong IV terdapat sebuah kepunden gunung sebagai
sumber air panas dengan kandungan belerang cukup tinggi. Para wisatawan dapat
mandi dan menghangatkan tubuh disebuah pemandian yang dibangun di dekat
kepunden tersebut. Bau belerangnya cukup kuat dan kepulan asapnya lumayan tebal
ketika mendekati sumber air panas tersebut. Karena keindahannya Candi Gedong
Songo ini sering menjadi tempat yang indah untuk foto foto . Untuk mencapai
obyek wisata ini tidaklah sulit. Bila berangkat dari kota Semarang kita naik
bus jurusan Yogyakarta. Begitupun sebaliknya, bila dari Yogyakarta pilihlah bus
ke Semarang. Lalu, turun di kota Ambarawa. Demikian pula bila menggunakan
kendaraan pribadi. Tempuhlah jalur Semarang-Yogyakarta. Sesampainya di Ambarawa
kita bisa langsung menuju ke Bandungan. Untuk yang berkendaraan umum tak perlu
khawatir. Banyak angkutan pedesaan yang siap mengantar pelancong ke lokawisata
tersebut. Mintalah turun di pertigaan Poli (toko Pauline). Di sini telah
berjejer angkutan pedesaan tersebut. Namun, angkutan umum itu tak langsung
membawa pelancong ke lokasi candi. Kita turun di pertigaan Gedong Songo.
Kemudian perjalanan ditempuh dengan menggunakan ojek hingga tujuan. Menjejakkan
kaki di pelataran candi anganpun bisa melayang ke sebuah negeri khayalan.
Bagaimana tidak? Kabut putih akan segera menyergap kita, meskipun kita masih
berada di kaki candi. Belum lagi udara dingin yang menggigilkan sumsum.
Kemudian, memandang ke atas akan terlihat gugusan sembilan candi yang berdiri megah
berpencar.
Candi ini
memang dibangun berpencar dan tersusun di atas bukit. Satu bangunan candi
berdiri di atas lahan sendiri seluas sekitar 150 X 30 meter persegi. Bangunan
candi berurutan. Candi pertama menempati lokasi paling bawah, kemudian berurutan
naik dengan jarak bervariasi antara candi pertama, kedua dan seterusnya. Letak
candi tidak berdiri berurutan seperti anak tangga. Antara bangunan yang satu
dengan yang lain terkadang berada dalam arah yang berbeda. Tapi, yang pasti,
urutannya selalu naik ke atas. Otomatis, kita akan berjalan melingkar-lingkar
jika hendak mencapai bangunan candi berikut. Sekadar saran, bila anda ingin
mendaki menikmati keindahan sembilan candi ini baiknya anda mengambil jalan ke
kiri setelah melewati gerbang lokawisata. Memang tak ada aturan untuk itu.
Namun, dengan demikian pendakian menuju candi berikut akan terus berurutan.
19. Provinsi
DKI Jakarta (Rumah adat betawi)
DKI jakarta memiliki 2 rumah adat khas betawi, yaitu rumah
Bapang dan rumah Gudang. Rumah Bapang
atau sering disebut rumah kebaya. Ciri khas rumahini adalah teras rumahnya yang luas disanalah ruang tamu dan
bale tempat santai pemilik rumah berada, semi terbuka hanya di batasi pagar
setinggi 80 cm dan biasanya lantainya lebih tinggi dari permukaan tanah dan
terdapat tangga terbuat dari batubata di semen paling banyak 3 anak tangga.
Depan dan sekeliling rumah adalah halaman rumah yang luas baru pagar paling
luar dari rumah tersebut. Bentuknya sederhana dan terbuat dari kayu dengan
ukiran khas betawi dengan bentuk rumah kotak ( dibangun diatas tanah berbetuk
kotak). Rumah Bapang terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, kamar mandi, dapur dan teras extra luas.
Rumah
Gudang. sudah bisa di tebak
dari namanya, Rumah adat betawi yang ini berdiri di atas tanah yang berbentuk
persegi panjang, rumahnya memanjang depan ke belakang. Atap rumahnya tampak
seperti pelana kuda atau perisai, dan di bagian muka rumah terdapat atap kecil.
20. Provinsi
DI Yogyakarta (Candi Prambanan)
Prambanan
adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan
lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali
berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda
keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini
menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga
kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medangberalih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke
pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan
ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh
Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk
memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah
Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang
berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya
(Sanskerta:Shiva-laya yang berarti:
'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa'). Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat
pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum
perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai
yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat
kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini
berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi
sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini
dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai
dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas
aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas
bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa
arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa sebagai
candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta beliau.[5] Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini
berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari "Para Brahman", yang mungkin merujuk kepada
masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana.
Kompleks
bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram
berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan
di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi
sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara
penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan
pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar
candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu.
Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat
Prambanan di Dataran Kewu.
21. Provinsi
Bali (Gapura candi Bentar)
Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan
sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan
pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas,
sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah
oleh anak tangga.
Bangunan ini
lazim disebut "gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah
menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna.
Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok.
Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit.
Di kawasan bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan
Yogyakarta, gerbang semacam ini juga disebut dengan "supit urang" ("capit udang"), seperti
yang terdapat pada kompleks Keraton Solo, Keraton Yogyakarta, dan Pemakaman raja-raja Imogiri. Meskipun makna supit urang biasanya mengacu kepada gerbang dengan
jalan bercabang dua, biasanya jalan dan gerbang yang mengapit kiri dan kanan
bangunan pagelaran keraton.
Pada aturan zona
tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik candi bentar
maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur.
Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan
luar pura dengan nista mandala (jaba pisan) zona terluar kompleks pura,
sedangkan gerbang kori ageng atau paduraksa digunakan sebagai gerbang di
lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba
tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka
dapat disimpulkan bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, candi
bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan
dalam.
22. Provinsi
Nusa tenggara barat (Sampari)
"sampari"
adalah istilah lokal etnis Mbojo (Bima dan dompu) yang ber-teritorial di
wilayah pulau Sumbawa bagian timur. Tampilan tetap mengadopsi dari muasal
induk, khas jajaran keris Sulawesi. Variasi kayu, seperti biasanya memasangkan
dua jenis pilihan, pada angkup (yang menyerupai badan
kapal phinisi) dan hulu menggunakan kayu kemuning,
dengan tekstur yang lebih padat. Lalu pada gandar yang
bercorak coklat gelap sejauh ini belum bisa saya berhasil identifikasi. Tekstur
kayu tidak sepadat kemuning, namun melihat tektur terdapat formasi
belang seperti merujuk pada jenis kayu yang oleh komunitas Sulawesi
dijuluki kayu Bawang.
Bentuk hulu bagi
kalangan komunitas lokal NTB disebut sebagai hulu Ekor Lebah.
Terdapat retakan pada hulu. Formasi lukberjumlah 9. Bagian cincin
berupa penyatuan seluk dan mendak memakai
bahan tembaga. Layaknya bagian dari performa umum tampilan selalu minimalis.
Bilah terlihat cukup banyak terlapisi karat akibat korosi. Masih dalam proses
pembersihan. Jadi belum bisa mengenali jenis alur pamor-nya. Tapi dari sekedar
runut jejak... seperti jenis pamor rante. Berupa kaitan perca pola
yang merangkai seperti alur rantai. Pada pangkal, bagian ganja dilengkapi
formasi ri-pandan dan lambe gajah. Layaknya sebilah keris khas sulawesi,
dimensinya tidak lebih dari panjang hunus mencapai 40 cm. Dan sebagai benda
garap khas silam, sampari ini setidaknya masih menunjukkan titik balans ala
vertikal. Porsi yang setidaknya memperhatikan kinerja dan proses kreasi tidak
asal-asalan.
23. Provinsi
Nusa tenggara timur (Sasando)
Sasandu
(bahasa rote), atau bahasa kupang sering menyebut sasando adalah alat musik
berdawai yang dimainkan dengan cara memetik dengan jari-jemari tangan. Sasando
merupakan alat musik tradisional dari kebudayaan rote yaitu alat musik yang
ditemukan sejak abad 15. Alat ini bentuknya sederhana bagian utamanya berbentuk
tabung panjang dari bambu, bagian tengah melingkar dari atas ke bawah diberi
penyangga (senda-bahasa rote) dimana dawai-dawai atau senar yang direntangkan
ditabung bambu dari atas bertumpu ke bawah. Penyangga ini menghasilkan nada
yang berbeda-beda pada setiap petikan dawai, sedangkan wadah yang berfungsi
untuk resonansi sasando berupa anyaman lontar (haik). Bentuk sasando secara
umum mirip dengan alat musik petik lainnya, seperti gitar, biola, kecapi dan
valiha dari madagaskar. Secara harafiah nama sasandu dalam bahasa rote bermakna
alat musik yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan
masyarakat rote sejak abad ke-7.
Ada
beberapa versi ceritra rakyat tentang awal mulanya sasandu/sasando.
Ceritra ini bermula dari terdamparnya seorang pemuda bernama
Sangguana di pulau Ndana yang kemudian dibawa oleh penduduk sekitar ke
hadapan raja takalaa, hal ini yang mempertemukan Sangguana dengan putri raja.
Sangguanapun jatuh cinta pada sang putri, namun raja mempunyai syarat untuk
menerima Sangguana. Sangguana diminta raja untuk membuat alat musik yang
lain dari yang lain. Dalam mimpinya Sangguana memainkan alat musik yang indah
bentuknya serta merdu suara. Hal ini yang mengilhami Sangguana untuk
membuat alat musik seperti yang diinginkan sang raja. Alat musik itu diberi
nama sasandu . Kemudian sasando tersebut diberikan kepada putri raja dan putri
raja memberi nama Hitu (tujuh) makna dari pemberian nama tersebut karna 7
(tujuh) dawai sasando bergetar bersamaan saat dipetik. Karena keinginan raja
terpenuhi Sangguanapun berhasil mempersunting putri raja. Bunyi Sasando sangat
unik jika dibandingkan dengan gitar, biasa sasando lebih bervariasi. Hal ini
karena Sasando memiliki 28 senar. Itulah sebabnya memainkan sasando tidaklah
mudah karena seorang pemain sasando harus mampu membuat ritme dan feeling bunyi
nada yang tepat dari seluruh senar yang ada. Sasando dengan 28 senar ini
dinamakan sasando engkel, sedangkan jenis sasando dobel memiliki 56 senar,
bahkan ada yang 84 senar.Cara memainkan sasando adalah dengan dipetik seperti
memainkan gitar. Tetapi Sasando tidak memiliki chord (kunci) dan senarnya harus
dipetik dengan dua tangan, sehingga lebih mirip harpa. Sampai sekarang hampir semua
bahan yang dipakai untuk membuat Sasando adalah bahan asli, kecuali senarnya. Jenis-jenis
Sasando :
-
Sasando Tradisional
Ada
beberapa jenis sasando yaitu sasando gong dan sasando biola. Sasando gong
biasanya dimainkan dengan irama gong dan dinyanyikan dengan syair daerah rote
untuk mengiri tari, menghibur keluarga yang berduka dan yang sedang mengadakan
pesta. Bunyi sasando gong nadanya pentatonik. Sasando gong berdawai 7 (tujuh)
atau 7 (tujuh) nada, kemudian berkembang menjadi 11 (sebelas) dawai. Sasando
gong lebih dikenal di pulau rote.
Diperkirakan
akhir abad ke 18 sasando mengalami perkembangan dari sasando gong ke sasando
biola. Sasando biola lebih berkembang di Kupang. Sasando biola nadanya diatonis
dan bentuknya mirip sasando gong tetapi bentuk bambu diameternya lebih besar
dari sasando gong dan jumlah dawai pada sasando biola lebih banyak, berjumlah
30 nada berkembang menjadi 32 dan 36 dawai. Sasando biola ada 2 bentuk
yaitu sasando dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari daun lontar/haik
dan sasando biola dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari bahan kayu
maupun multiplex (kotak/box/peti). Mengapa dikatakan sasando biola? Karena
nada-nada yang ada pada sasando meniru nada yang ada pada biola, pada
mulanya alat penyetem dawai terbuat dari kayu, yang harus diputar kemudian
diketok untuk mengatur nada yang pas. Sasando biola biola yang terbuat dari
kotak kurang mengalami perkembangan dan akhirnya orang lebih mengenal sasando
biola dengan ruang resonansinya dari haik (daun lontar yang dibentuk menyerupai
wadah), seperti yang sering kita lihat pada uang kertas lima ribuan emisi tahun
1992.
-
Sasando Listrik/Elektrik
Sasando
listrik atau sasando elektrik diciptakan oleh Arnoldus Edon, sasando elektrik
ini termasuk dalam salah satu jenis Sasando Biola yang mengalami perkembangan
teknologi. Sasando tradisional mempunyai beberapa kekurangan dan kelemahan
antara lain, daun lontar mudah pecah dan pada saat musim hujan sering timbul
jamur diatas permukaan daun, dan suara sasando ketika dipetik suaranya sangat
kecil. Sasando elektrik yang diciptakan ini tidak menggunakan wadah dari daun
lontar peti kayu/kotak/box dari papan, karena tidak membutuhkan ruang resonansi
yang berfungsi sebagai wadah penampung suara.Bunyi langsung dapat di perbesar
lewat alat pengeras suara (sound system / speaker aktif). Berawal dari
peristiwa kerusakan sasando biola yang terbuat dari peti kayu/kotak milik ibu
mertua dari Arnoldus Edon pada tahun 1958, sasando yang rusak itu di
perbaikinya dan menjadi baik.
Dari
situlah awal mulanya Arnoldus Edon mulai mendapatkan ide dan mulai
bereksperimen membuat sasando elektrik. Ia berpikir kalau memetik sasando yang
posisi sasandonya tertutup dengan daun lontar yang lebar dan bunyinya hanya
bisa di dengar oleh segelintir orang saja yang ada disekitarnya dan petikan
serta kelentikan jari-jemari tidak dapat dinikmati atau dilihat oleh orang lain
karena tertutup daun lontar. Alangkah indahnya apabila sasando itu dipetik dan
di dengar dengan suara yang besar, dinikmati oleh banyak orang dari kejauhan
dan petikan jari-jemari yang lemah gemulai dapat dilihat keindahannya, karena
sasando dipetik dengan menggunakan 7 sampai 8 jari. Tahun 1958 diciptakanlah
Sasando listrik/elektrik, eksperimen demi eksperimen dilakukannya untuk mendapatkan
bunyi yang sempurna yang sama dengan bunyi asli dari Sasando. Tahun 1959
Arnoldus Edon hijrah ke Nusa Tenggara Barat (Mataram) sebagai seorang Kepala
Sekolah di Mataram. Berbekal ilmu pengetahuan sebagai seorang guru IPA/Fisika,
maka pada tahun 1960 Sasando Elektrik ini berhasil dirampungkan dan mendapatkan
bunyi yang sempurna sama dengan suara aslinya. Bentuk sasando elektrik ini
dibuat sebanyak 30 dawai. Inilah awalnya Arnoldus Edon membuat sasando listrik
yang hasilnya pertamanya langsung di bawah ke Jakarta oleh Thobi Messakh (tokoh
adat dari Rote). Jadi Sasando elektrik di buat pertama kali pada waktu Arnoldus
Edon masih berada di Mataram. Pembuatan Sasando Elektrik dibuat lebih modern
dari Sasando tradisional ada perbedaan dalam cara pembuatannya. Komponen
sasando elektrik memang lebih ruwet, sebab banyak unsur yang menentukan
kualitas suara yang dihasilkan pada alat musik tersebut. Selain badan sasando
dan dawai. Alat yang paling penting pada sasando elektrik adalah spul
(pickup) yang merupakan sebuah transducer yang akan mengubah getar dawai
menjadi energi listrik, lalu diteruskan melalui kabel dan masuk kedalam
amplifier.
24. Provensi
Sulawesi Barat (Kain Sambu)
Kain
Sambu adalah kain khas daerah Mamasa, Sulawesi Barat. Dibuat dengan menggunakan
alat tenun. Kain sambu memang belum sepopuler batik atau ulos yang sudah
mendapat pengakuan dunia.
Kain
Adat Mamasa adalah warisan budaya dari para leluhur yang diajarkan turun
temurun. Pembuatan kain tenun Sambu ini dikerjakan oleh para wanita yang bekerja
sebagai ibu rumah tangga, hampir semua ibu rumah tangga di Mamasa pada masa
lalu yang notabene Mamasa pada saat itu masih terisolasi, bisa membuat tenun
Sambu hal ini dikarenakan jarak yang jauh dari kota sehingga mereka tidak
sanggup untuk membeli sarung (sambu’) untuk dipakai pada malam hari.
25. Provinsi
Sulawesi Selatan (Ukiran-ukiran Nisan, kerajaan Gowa)
Corak
seni dan kaligrafi
Nisan-nisan pada Kompleks Makam Katangka, Kabupaten Gowa
Nisan-nisan pada Kompleks Makam Katangka, Kabupaten Gowa
Corak
seni dan kaligrafi
Nisan-nisan pada Kompleks Makam Katangka, Kabupaten Gowa
Nisan-nisan pada Kompleks Makam Katangka, Kabupaten Gowa
Kompleks ini
terletak di sebelah utara bukit Tamalate, merupakan area pemakaman raja-raja
Gowa dari masa yang lebih kemudian, dan raja-raja yang dimakamkan di kompleks
makam Tamalate dan Bonto Biraeng. Pada kompleks ini terdapat bangunan makam
kubah dan jirat biasa.
Jirat dan
nisannya dominan terhuat dari ukiran kayu. Jirat kayu diukir, dengan pahatan
hiasan untaian flora, meng¬gunakan warna menyolok, merah dan terutama kuning
keemasan. Pada bagian kepala dan kaki jirat terdapat semacam gunungan yang
dilengkapi dengan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur'an dan identitas yang
dimakamkan. Ragam hias beberapa kubah -memperlihatkan adanya pengaruh anasir
Barat, terutama terlihat pada pintu masuk.
Kubah makam di
kompleks ini berukuran lebih besar dari pada makam lain. Di dalam kubah
terdapat sejumlah makam, mungkin dari satu keluarga terdekat. Makam¬-makam di
dalam kubah diatur berjajar dua. Lantai kubah lebih tinggi 60-75 cm dari
permukaan tanah atau dasar pintu masuk. Konstruksi demikian menyebabkan jirat
dan nisan di dalam bangunan kubah tampak seperti di atas panggung.
26. Provinsi
Sulawesi utara (Keris)
§
Keris merupakan senjata tradisional
masyarakat Sulawesi Utara, yang bentuknya lurus tanpa lekukan.
§
Peda (semacam parang) yang digunakan
untuk bertani atau menyadap enau.
Senjata tradisionalnya adalah keris. Tapi bentuk keris dari Sulawesi Utara
ebntuknya lurus, tida ada lekukan-lekukannya. Selain itu ada juga senjata
tradisional lainnya, seperti peda (sejenis parang), sabel, tombak, dan perisai.
Kalau peda atau parang bentuknya pendek hanya sekitar 50cm. Peda terbuat dari
besi dan kayu yang keras, ujungnya bercabang dua. Senjata ini bisa dipergunakan
untuk berbagai keperluan, seperti bertani, dan menyadap enau.
27. Provinsi
Sulawesi tenggara (Laikas)
Laikas merupakan rumah adat yang terdiri
dari tiga lantai, lantai pertama merupakan tempat kediaman raja dan permaisuri,
lantai kedua untuk tempat keluargan dan lantai ketiga untuk tempat wanita
sholat, pada kiri dan kanan lantai dua terdapat ruangan tempat menenun kain
yang bernama bane. Bangunan tersebut tidak menggunakan paku dan merupakan rumah
panggung yang di buat unutk tempat tinggal raja-raja pada zaman dulu.
28. Provinsi
Sulawesi tengah (Pasatimpo)
Pasatimpo adalah sejenis keris yang
bentuk hulunya bengkok ke bawah dan sarungnya diberi tali. Senjata ini sering
digunakan oleh masyarakat setempat dalam tari-tari penyembuh yang berfungsi
sebagai pengusir roh-roh jahat. Kini, Pasa timpo lebih sering digunakan dalam
tari-tari kepahlawanan. Fungsinya hanya untuk membesarkan jiwa penarinya.
Karena keris tidak digerakan tetapi cukup diikatkan saja pada pinggang penari
sebagai hiasan
29. Provinsi
Maluku (Salawaku)
Parang
dan Salawaku, Merupakan
senjata tradisional khas daerah Maluku. Kedua senjata ini biasanya dipakai oleh
para penari pria saat mempertunjukkan tarian Cakalele. Pada salawaku terdapat
ukiran-ukiran bermakna khusus yang terbuat dari kulit kerang laut. Ukuran parang
dan salawaku sangat bervariasi tergantung postur badan sang penari. Masyarakat
pulau Kakara B di Halmahera Utara terkenal sebagai pengrajin salawaku yang
piawai.
Merupakan senjata tradisional khas daerah Maluku.
Kedua senjata ini biasanya dipakai oleh para penari pria saat mempertunjukkan
tarian Cakalele. Pada salawaku terdapat ukiran-ukiran bermakna khusus yang
terbuat dari kulit kerang laut. Ukuran parang dan salawaku sangat bervariasi
tergantung postur badan sang penari. Masyarakat pulau Kakara B di Halmahera
Utara terkenal sebagai pengrajin salawaku yang piawai.
Keunikan setiap senjata tradisional itu bisa terlihat
dari bentuk, pemilihan bahan, teknik pembuatannya, atau hiasan yang
dipergunakan dalam senjata tersebut. Di Maluku sendiri terdapat senjata
tradisional yang sangat terkenal, senjata itu bernama Parang Salawaku.
Bentuknya yang cukup unik karena senjata ini merupakan senjata yang lengkap.
Parang Salawaki sudah merupakan satu paket senjata tradisonal Maluku. Senjata
ini terdiri dari parang dan perisai.
Jika melihat arti dari penamaan senjata tradisional
ini, terdiri dari kata parang dan sawalaku. Parang berarti pisau besar, biasanya memiliki
ukuran yang jauh lebih besar dari pisau, namun lebih pendek jika dibandingkan
dengan pedang. Sawalakusendiri
memiliki arti perisai. Perisai adalah alat yang dipergunakan untuk melindungi
diri dan untuk menangkis serangan senjata lawan.
Alat yang dijadikan senjatanya adalah parang. Parang
ini dipergunakan sebagai senjata untuk melakukan penyerangan terhadap lawan.
Sedangkan Sawalaku sebagai perisai yang fungsi utamanya adalah untuk alat
pertahanan dari serangan lawan. Selain itu senjata tradisional Maluku ini juga
sering kali dipergunakan untuk alat berburu binatang kala ada dihutan. Pada
masa sekarang Parang Salawaku biasanya dipergunakan untuk melengkapi pakaian
penari dan atau untuk upacara perkawinan.
30. Maluku
utara (Baileo)
Rumah Adat Maluku Utara
Baileo itu
sebutan atau nama dari rumah adat orang Maluku dan Maluku Utara, dengan bentuk bangunan yang besar, material bangunan
sebagian besar berbahan dasar kayu, kokoh dengan cukup banyak ornamen, ukiran
yang menghiasi seluruh bagian dari rumah tersebut. Tidak seperti halnya fungsi rumah adat pada suku-suku lain di Indonesia,
Baileo atau sebutan harfiahnya Balai, merupakan rumah yang di bangun dengan
tujuan yang berbeda, bukan sebagai rumah untuk dihuni atau rumah tinggal,
melainkan bangunan yang berfungsi untuk Landmark suatu desa bagi orang-orang
Maluku (rumah yang di gunakan sebagai tempat kegiatan atau upacara adat bagi
warga kampung).
Baileo merupakan bangunan yang
berfungsi sebagai tempat pertemuan warga (balai bersama), selain sebagai tempat
pertemuan / kegiatan Baileo juga berfungsi untuk menyimpan benda-benda suci,
senjata atau pusaka peninggalan dari nenek moyang warga kampung tersebut.
Rumah adat Baileo ini mempunyai
beberapa bagian yang mempunyai fungsi yang berbeda dan mempunyai filosofi yang
tersirat di dalamnya.
Pada intinya rumah adat Baileo ini dibuat tanpa dinding, hal ini bermakna agar roh nenek moyang dapat dengan leluasa untuk keluar masuk kedalam rumah adat tersebut. Bagian depan atau pintu masuk rumah adat Baileo terdapat Batu Pamalibatu besar yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesaji.
Pada intinya rumah adat Baileo ini dibuat tanpa dinding, hal ini bermakna agar roh nenek moyang dapat dengan leluasa untuk keluar masuk kedalam rumah adat tersebut. Bagian depan atau pintu masuk rumah adat Baileo terdapat Batu Pamalibatu besar yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesaji.
31. Gorontalo
(Sulaman Kerawang)
Daerah Gorontalo dikenal akan
budaya dan kerajinannya, salah satunya adalah kerajian sulaman Kerawang. Ragam
transparan ini menurut
sejarah sudah dikenal di daerah Gorontalo sejak Tahun 1713, yang semula hanya
menggunakan peralatan sederhana. Saat ini ragam dan coraknya sudah sangat
bervariasi baik dalam penerapan motif desain maupun jenis bahan yang digunakan untuk
menyulam.
Menurut Daulima (2009) bahwa
istilah sulaman Kerawang berasal dari kata “karawo”, terdiri atas kata ka =
kakatiya (saling mengait), ra = tanteya (berantai) dan wo = wowoalo,
yang artinya saling berkaitan dipinggiran lubang kain (Datau, 2010). Di daerah
Gorontalo dikenal 2 (dua)
jenis sulaman kerawang yaitu Kerawang Ikat dan Kerawang
Manila.
Kerawang Manila proses
pengerjaannya dengan teknik mengisi benang sulam secara berulang-ulang sebanyak
5 (lima) kali sesuai dengan motif yang telah dibuat terlebih dahulu. Secara
teknik pengerjaannya, Kerawang Manila lebih mudah pengerjaannya daripada
Kerawang Ikat. Pada proses pengerjaan Kerawang Ikat dilakukan dengan cara
mengikat bagin-bagian bahan yang telah diiris dan dicabut serat benangnya
mengikuti motif yang telah dibuat.
Dalam pemilihan bahan, sulaman
Kerawang berbeda dengan kerajinan Bordir. Kerajinan Bordir umunya dikerjakan
dengan menggunakan mesin bordir, sehingga bahan yang digunakan dapat berasal
dari semua jenis kain. Dilihat dari teknik tenunan, Kerawang yang hanya dapat
dikerjakan pada jenis bahan tekstil tertentu yaitu pada tenunan tekstil silang
polos yang hanya terdiri dari persilangan benang lungsir dan benang pakan
(Datau, 2010).
32. Papua
barat (Tifa)
Alat
musik tradisional Tifa ini, banyak digunakan oleh penduduk Papua dan Maluku.
Bila diperhatikan sekilas Tifa mirip dengan gendang. Dan dimainkan dengan
cara dipukul pula. Tifa dibuat dari batang kayu yang dihilangkan isinya. Salah
satu ujungnya lalu ditutupi menggunakan kulit binatang seperti kulit rusa.
Kulit rusa ini telah mengalami proses pengeringan terlebih dahulu, agar bisa
menghasilkan bunyi yang indah.
Tifa
dimiliki setiap suku di Papua, memiliki spesifikasi masing-masing. Antara lain
lewat ukiran yang menghiasi alat musik tersebut. Tifa biasanya dimainkan saat
ada acara, seperti acara penyambutan tamu penting, upacara adat dan sebagainya.
Alat musik ini juga digunakan untuk mengiringi aneka tarian tradisional Papua.
Antara lain Tarian Perang, Tari Gatsi, dan tari.tradisional lainnya.
33. Papua (Patung suku asmat)
Patung Asmat
Suku Asmat di Papua telah dikenal dunia dengan keterampilan mengukirnya
sejak tahun 1700an. Kesenian mengukir di Asmat merupakan bentuk kepercayaan
terhadap arwah nenek moyang. Menurut tradisi, nenek moyang suku Asmat
disimbolkan dalam bentuk patung serta ukiran.
Budaya mengukir di Asmat lahir dari upacara keagamaan. Di sebagian daerah,
upacara adatnya mengharuskan adanya pemotongan kepala manusia dan kanibalisme
untuk menenangkan arwah nenek moyang. Supaya tidak
harus melakukan hal itu tapi tetap menghormati arwah nenek moyang, mereka
membuat patung-patung yang menyerupai arwah nenek moyang tersebut. Menurut
kepercayaan nenek moyang menampakkan dirinya dalam mimpi. Penampakan dalam
mimpi inilah yang dituangkan menjadi tradisi mengukir dan memahat patung kayu.
Beberapa ornamen /
motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung
yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari
suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu,
seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau
wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek
moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu
lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk
mengenang arwah para leluhurnya.
Pada mulanya, patung-patung dibuat secara kasar dan setelah digunakan dalam
upacara agama tertentu lalu ditinggalkan di dalam rawa. Ini sebagai wujud para
arwah yang tinggal untuk menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan
sumber makanan utama masyarakat Asmat di Papua. Sejak era
kolonial Belanda, patung Asmat yang tadinya dinilai sebagai benda primitif dan
wujud kepercayaan terhadap arwah-arwah jahat. Tapi pada akhirnya menjadi
terkenal dan disimpan di sejumlah museum di dunia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahan di atas maka dapat disumpalkan bahwa
Indonesia bukan saja memiliki ragam budaya dan juga suku. Namun, juga memiliki
kekayaan lain berupa seni kriya yang bermacam-macam sesuai dengan tradisi dan
budaya yang terdapat di daerah tersebut.
Akan tetapi, dari banyaknya seni kriya yang ada
semuanya memiliki beberapa kesamaan dalam hal bentuk dan kegunaan, yang
membedakan antara satu bentuk seni kriya dengan yang lainnya adalah nilai-nilai
dan kepercayaan orang-orang yang terkandung dalam benda tersebut. Namun, seni-seni
kriya tersebut tidak pernah lepas dari nilai estetika dan skill yang tinggi.
B.
Saran
Sebagai warga Indonesia sudah sepantasnya kita menjaga
dan turut melestarikan budaya dan kekayaan yang kita miliki terutama kekayaan
seni kriyanya. Membeli produk yang kita hasilkan sendiri dan tidak mengutamakan
produk import merupakan upaya yang baik dalam melestarikan budaya kita yaitu
seni kriya. Sehingga produk ini bisa tetap berjaya dan tidak tenggelam seiring
perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Di kutip dari :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar